Pernah nggak sih kamu merasa bingung ketika orang dewasa di sekitar kamu dulu seakan nggak paham apa yang sebenarnya kamu rasakan waktu kecil? Atau mungkin kamu pernah mendengar cerita temen yang ngerasa nggak didengar sama orang tuanya? Banyak banget contoh kecil dimana orang dewasa, tanpa sadar, menjadi tone deaf ketika berinteraksi dengan anak-anak. Mereka mungkin menganggap apa yang mereka katakan adalah hal yang benar, tapi sebenarnya justru bisa menyakiti atau bikin anak jadi bingung. Padahal, memahami perasaan dan situasi anak itu sangat penting, karena mereka masih dalam proses tumbuh dan belajar. Itulah kenapa, penting banget buat kita, sebagai calon orang tua atau orang dewasa yang lebih peka, untuk menghilangkan sikap tone deaf ini. Yuk, kupas tuntas lebih dalam tentang apa itu tone deaf dan bagaimana cara menghindarinya berikut ini!
Baca Juga: Pentingnya Menemukan Pasangan yang Paham akan Peran Ayah!
Apa Itu Tone Deaf?
Oke, sebelum kita terlalu jauh, Minly mau bahas dulu apa sih yang dimaksud dengan tone deaf. Secara harfiah, istilah ini berasal dari musik, yang artinya seseorang nggak bisa membedakan nada. Tapi, dalam konteks yang lebih luas, tone deaf ini berarti seseorang yang gagal memahami atau menanggapi situasi dengan cara yang tepat, terutama dalam hal berkomunikasi. Misalnya, saat seseorang menghadapi situasi sulit atau sedang down, bukannya memberikan empati, malah memberikan komentar yang nggak sensitif. Nah, sikap ini sering kali nggak disadari oleh orang dewasa ketika mereka berbicara dengan anak-anak.
Apakah Sikap Tone Deaf Berbahaya?
Anak-anak adalah individu yang masih dalam tahap belajar tentang dunia. Mereka belum sepenuhnya memahami apa yang mereka rasakan atau bagaimana cara mengekspresikannya dengan baik. Karena itu, sikap orang dewasa, terutama orang tua, sangat berpengaruh dalam perkembangan emosional dan mental anak.
Bayangin aja, kalau anak kamu sedang menghadapi masalah di sekolah, mungkin dia merasa nggak percaya diri karena suatu hal, dan sebagai orang tua, kamu malah bilang “Ah, gitu doang, masa sedih sih? Nggak usah lebay deh.”. Mungkin maksud kamu adalah untuk menyemangati, tapi buat anak, kalimat seperti itu bisa jadi meremehkan perasaannya. Inilah contoh sederhana dari tone deaf, dimana orang dewasa gagal merespons dengan empati.
Contoh Sikap Tone Deaf yang Sering Terjadi
Mungkin kamu nggak sadar, tapi ada beberapa contoh umum yang mungkin sering banget terjadi tanpa disadari, nih:
1. Mengabaikan Perasaan Anak
Misalnya, saat anak kecewa karena mainannya rusak atau nggak bisa bermain sama temannya, orang dewasa sering kali merespons dengan “Ya ampun, cuma mainan rusak aja kok. Besok beli lagi!”. Padahal, buat anak, mainan itu mungkin punya nilai emosional yang besar.
2. Menganggap Remeh Kesulitan Mereka
Tugas sekolah yang sulit, masalah dengan teman-teman, atau ketakutan menghadapi hal baru bisa jadi tantangan besar buat anak. Tapi, kalau kita malah bilang, “Alah, gampang itu! Waktu Mama kecil, lebih susah lagi tugasnya!” kita sebenarnya sedang meremehkan perasaan anak, tanpa benar-benar mendengarkan apa yang mereka rasakan.
3. Memberi Nasihat yang Nggak Sesuai Usia Anak
Banyak juga orang tua yang memberikan nasihat terlalu ‘dewasa’ buat anak-anak. Misalnya, “Kamu harus lebih kuat! Hidup itu keras.”. Padahal, si kecil mungkin cuma butuh dipeluk dan didengarkan saat merasa sedih.
Bagaimana Menghindari Sikap Tone Deaf pada Anak?
Nah, setelah kita tahu bahayanya, gimana sih caranya supaya kita bisa jadi lebih peka dan menghindari sikap tone deaf ini?
- Dengerin anak dengan penuh empati. Pertama-tama, dengerin dulu perasaan anak. Bukan cuma sekedar denger, tapi coba pahami dari sudut pandang mereka. Ketika anak bercerita, berikan perhatian penuh, dan jangan langsung menghakimi atau memberikan nasihat tanpa mendengarkan keseluruhan ceritanya.
- Validasi perasaan mereka. Buat anak-anak, perasaan mereka adalah hal yang nyata dan penting. Jadi, kalau mereka merasa sedih, takut, atau marah, validasi perasaan tersebut. Kamu bisa bilang “Aku ngerti kok kamu lagi sedih karena mainanmu rusak. Pasti itu berat buat kamu ya.”.
- Berikan solusi yang sesuai dengan usia mereka. Hindari memberi nasihat yang terlalu dewasa atau terlalu abstrak buat anak-anak. Solusi yang kamu tawarkan harus sesuai dengan usia mereka dan mudah dipahami. Misalnya, kalau mereka takut menghadapi ujian, kamu bisa bilang “Gimana kalau kita belajar bareng? Kamu pasti bisa kok, pelan-pelan aja.”.
- Ajarkan anak untuk mengekspresikan perasaan mereka. Selain mendengarkan, ajarkan anak untuk bisa mengekspresikan perasaannya dengan kata-kata. Ini membantu mereka memahami apa yang mereka rasakan dan lebih mudah mencari solusi.
- Jangan bandingkan pengalaman anak dengan pengalaman pribadi kamu. Terkadang kita merasa pengalaman kita lebih berat atau lebih sulit, tapi banding-bandingin seperti itu nggak membantu anak. Mereka butuh dukungan, bukan perbandingan. Fokuslah pada apa yang mereka rasakan sekarang.
Baca Juga: Retroactive Jealousy: Ketika Masa Lalu Jadi Beban di Hubungan
Menghindari sikap tone deaf bukan cuma soal menjadi orang tua yang lebih baik, tapi juga soal membangun hubungan yang sehat dengan anak. Ketika kamu bisa memahami dan merespon dengan tepat perasaan mereka, anak akan merasa lebih dihargai dan percaya bahwa mereka bisa berbicara apapun kepada kamu. Ini akan sangat berguna, terutama ketika mereka tumbuh dewasa dan mulai menghadapi masalah yang lebih kompleks. Jadi, yuk mulai dari sekarang, LocalLady, bangun empati dalam cara kita berkomunikasi dengan anak-anak!
Nah, buat LocalLady yang sering merasa overwhelmed menghadapi banyak peran sebagai ibu, pekerja, dan masih harus peka sama anak, nggak ada salahnya loh untuk jaga kesehatan tubuh kamu juga. Minly kasih rekomendasi, cobain deh Mooles fiber drink yang bisa bantu kamu tetap fit dan nggak gampang capek. Kamu bisa check out di sini. Let’s stay healthy and empathetic, LocalLady!